Prof. Bambang Setiaji

Rektor Univ Muhammadiyah Surakarta

More About Me...

Lahir di Pacitan, 24 Desember 1956 dari pasangan ibu bernama Tentrem dan ayah bernama Harsono (alm) seorang guru dan Kepala Sekolah SD Tulakan Pacitan. Kakek juga seorang guru dan kepala sekolah dengan gaya pendidikan warisan pemerintahan kolonial yang khas.

Assalamu' alaikum..

Selamat datang di website ini. Blog ini berisi gagsan kami yg dipublikasi di koran, buku, dan bahan kuliah. Web ini dibuat oleh keponakan saya Bukhori, saya ucapkan terima kasih atas bantuannya. Selamat menjelajah!

Tekanan Gaji dan Korupsi

Prof. Bambang Setiaji (Dimuat di koran Seputar Indonesia 13 Nov 2009)

Gaji tepatnya take home income menteri, pejabat negara, dan DPR yang tinggi menekan birokrasi menuju perimbangan tertentu, gap keseimbangan itu mendorong antara lain tindak korupsi. Sebagai contoh ada satu argumen seorang analis di TV mengapa para petugas dikenal masyarakat sebagai tukang catut, disebabkan oleh perbedaan gaji, misalnya dperbandingan gaji pimpinan KPK sekitar 60 jutaan sedang jendral polisi hanya sekitar 5 juta.

Setidaknya terdapat empat asumsi - tujuan penetapan gaji, yang pertama, untuk memberi insentif bekerja keras, kedua, untuk menarik pekerja berkualitas masuk ke suatu institusi, ketiga, mengurangi perputaran pekerja, dan keempat yang disebut tujuan sosiologis yaitu bertujuan keseimbangan antar jabatan dan profesi. Tujuan keempat, yaitu keseimbangan antar jabatan dan profesi ini merupakan masalah yang muncul karena jabatan-jabatan di Indonesia memiliki struktur gaji yang tidak jelas. Tugas yang setara dan take home income yang jauh berbeda menimbulkan ketidak adilan dan pembenaran terhadap korupsi.


Sebenarnya gaji penegak hukum tidaklah rendah, bahkan pegawai negeri biasapun, misalnya jika dibandingkan dengan gaji para pekerja mayoritas yang ditetapkan melalui upah minimum kota atau propinsi. Upah minimum kota dan propinsi yang mencerminkan traraf hidup rakyat banyak masih di bawah satu juta rupiah.

Kemampuan anggaran negara yang terbatas menyebabkan politik penghasilan diarahkan untuk kelompok yang terbatas, misalnya para pejabat negara yang bersifat temporer. Akan tetapi antara pejabat negara dan pimpinan BUMN masih tedapat gap gaji dan income. Antara pejabat negara dan pimpinan instansi swasta teman pergaulan atau partner yang dilayani juga terdap gap. Dan antara pejabat negara dengan birokrasi yang dipimpinnya juga terdapat perbedaan yang besar. Kesenjangan juga terjadi antara keseluruhan birokrasi termasuk pegawai negeri dan buruh mayoritas rakyat yang diatur dengan upah minimum.

Dilihat dari struktur gaji dan penghasilan sekurang-kurangnya yang ada di lingkungan pemerintahan dan pejabat negara perlu dipetakan dan diarahkan sesuai suatu kerangka keseimbangan atau kesetaraan antara beban dan penghasilan. Banyak petinggi seperti membenarkan tindak korupsi di institusinya karena masalah gap atau perbedaan relatif penghasilan. Legitimasi ini kemudian membudaya dan menjadi sistemik. Kasus pengaturan BAP atau kriminalisasi KPK yang menunjukkan betapa berkuasanya uang menggambarkan betapa jauh efek masalah ini jauh ke relung kehidupan bangsa. Tanpa objektifitas hukum makna negara menjadi menghilang.

Tekanan Korupsi

Bukan hanya masalah perbedaan gaji dalam lingkungan yang setara yang menyebabkan korupsi, koruspsi tidak lain adalah sebuah transaksi yang melibatkan suplai dan demand. Dari sisi demand faktor-faktor sosiologis juga mendorong seorang pejabat melakukan korupsi, di samping gaji rendah, di imbangi oleh status sosial yang tinggi, pergaulan dengan elit ekonomi, konsep keluarga besar atau extended family di mana seorang pejabat sering diunggulkan oleh keluarga bukan hanya dalam status sosial tetapi juga menjadi sandaran ekonomi.

Korupsi disebabkan oleh interaksi berbagai variabel yang kompleks. Transformasi yang cepat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri menyebabkan kebutuhan yang bergerak cepat, membuat orang tidak sabar dan akhirnya terdorong untuk memenuhinya dengan tindakan korup. Kehidupan lingkungan misalnya pergaulan dengan alat-alat konsumsi yang relatif tinggi, untuk menjaga wibawa dan survive dalam lingkungan itu maka pejabat publik terdorong untuk melakukan korupsi. Faktor budaya terutama loyalitas kepada keluarga, menyebabkan berkurangnya loyalitas kepada negara/jabatan publik. Seorang pejabat publik dalam keluarga besar sangat dihormati dan hal ini memerlukan konsekuensi finansial yang sebenarnya tidak sesuai dengan penghasilan resmi.

Secara teoritis, negara modern bisa menekan korupsi. Pemilihan umum menyebabkan tiadanya kekuasaan mutlak atas diri pemimpin. Pemimpin harus mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada perwakilan rakyat. Kebebasan rakyat sekali lagi memperlihatkan powernya dalam kasus Bibit-Candra. Mundurnya Susno Duaji dan HA Ritonga tidak lain karena kebebasan yang dimiliki mayarakat dan juga pers. Generasi tua di kedua institusi penegak hukum kelihatannya kurang menyadari kekuatan baru ini dan mereka masih memainkan kartu lama. Kepercayaan publik kepada kedua institusi berada pada titik nadir. Hal tersebut bukan tidak beralasan, begitu aktor-aktor muncul dalam rekaman yang dibuka di Makamah Konstitusi, rakyat sudah mengenal betul dan bahkan semua yang pernah berurusan dengan hukum mengalami sendiri. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kepercayaan publik dan kesadaran akan era baru diperlukan kepemimpinan generasi muda yang segar. Kesadaran baru dilambangkan oleh pemotongan satu generasi mengingat borok ini sudah dirasakan oleh seluruh rakyat.

Reformasi Indonesia sebelas tahun lalu diharapkan akan mengurangi korupsi di masa depan. Namun, biaya dari demokrasi tersebut juga besar. Kebebasan berekspresi menyebabkan budaya permisif yang meningkat. Pornografi di Indonesia meningkat pesat, demikian juga diduga prostitusi dan moral umum. Apa yang diperlukan ke depan adalah perpaduan antara kebebasan berekspresi terarah kepada yang bermutu tinggi bukan pada permisivisme, dan pada saat yang sama keabsolutan, otoritaritarianisme atas kekayaan negara menjadi berkurang.

Persoalannya adalah bagaimana meminimumkan biaya demokrasi sebagaimana pengalaman Indonesia. Kehidupan hedonis-sekuler yang merupakan bawaan demokrasi yang berkembang di tengah kemiskinan di Indonesia sungguh sangat dasyat akibatnya dari pada kehidupan hedonik dan sekuler di masyarakat dewasa dan terdidik seperti di Barat. Ketika rakyat miskin mulai menggantikan relasi tradisionalnya dengan uang yang terkait dengan modernisasi dan demokratisasi, hampir-hampir berakibat manusia memakan manusia. Kehidupan umum menjadi sangat buruk dan tidak manusiawi.

1. Pemilihan umum secara langsung di Indonesia diwarnai dengan modal uang yang sangat besar dari para calon. Dana untuk pemilih itu sendiri disalurkan lewat agen yang kemungkinan besar juga mulai dikorupsi. Biaya iklan TV sangat mahal, dan karena banyaknya TV maka harus disediakan dana sangat besar untuk maju ke kepemimpinan nasional. Hubungan dan backing dari para pebisnis menjadi sangat penting. Hal ini diduga akan menimbulkan korupsi terutama yang berupa berbagai kemudahan, seperti misalnya pelunakan standar lingkungan, pelunakan standar-standar keamanan. Perlu dibuktikan hipotesis bahwa sebagian besar gedung yang roboh saat gempa di Padang adalah bangunan publik. Apabila hal ini benar sekali lagi memperlihatkan betapa jauh korupsi menjadi akar berbegai bencana. Di satu sisi, kita masih berkutat pada pemberantasan korupsi tingkat rendah, korupsi tingkat tinggi seperti adanya monopoli, kartel, kolusi harga yang lebih kualitatif dan abstrak masih jauh dari jangkauan. Sebagai contoh, sumber daya frekuensi TV sangat terbatas menyebabkan aspirasi mayoritas rakyat yang pedesaan, pertanian, religius, dan sebagainya kurang mendapat tempat. Sebaliknya, frekuensi yang sangat terbatas tersebut hanya dikuasai dan digunakan untuk menyebarkan aspirasi dan kepentingan elite yang berkait dengan para pemilik modal. TV digunakan untuk menguasai rakyat, melalui perubahan gaya hidup, iklan, dan akhirnya pengembangan produk tertentu. Dalam pengertian yang luas, penguasaan seperti ini juga termasuk korupsi.
2. Korupsi yang lebih kualitatif mencakup bukan saja penggunaan dana publik secara ilegal, tetapi juga mencakup penyimpangan visional. Dalam hal ini alokasi dan penggunaan dana publik yang secara hukum mungkin sah tetapi sebenarnya menyimpang dari tugas dasar negara yang benar. Korupsi yang legal terjadi, misalnya, ketika ekskutif dan legislatif setuju mengalokasikan dana publik untuk kepentingan yang tidak berhubungan dengan rakyat banyak, miksalnya program tetek bengek yang prestisius di tengah kemiskinan rakyat. Proyek seperti itu walaupun legal dan bersih tetap merupakan tindakan korup berupa penyimpangan tugas negara dari yang semestinya berupa pelayanan kepada rakyat. Tahap seperti itu merupakan tahap pemberantasan korupsi yang lebih tinggi dan kualitatif di masa depan.


0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent