Prof. Bambang Setiaji

Rektor Univ Muhammadiyah Surakarta

More About Me...

Lahir di Pacitan, 24 Desember 1956 dari pasangan ibu bernama Tentrem dan ayah bernama Harsono (alm) seorang guru dan Kepala Sekolah SD Tulakan Pacitan. Kakek juga seorang guru dan kepala sekolah dengan gaya pendidikan warisan pemerintahan kolonial yang khas.

Assalamu' alaikum..

Selamat datang di website ini. Blog ini berisi gagsan kami yg dipublikasi di koran, buku, dan bahan kuliah. Web ini dibuat oleh keponakan saya Bukhori, saya ucapkan terima kasih atas bantuannya. Selamat menjelajah!

Manajemen Kemiskinan Kita

Prof. Bambang Setiaji
Rektor Univ Muhammadiyah Surakarta
Kelompok miskin merupakan target program dari berbagai departemen. Karena berasal dari berbagai departemen manajemen pengentasan kemiskinan sering tidak optimal atau tidak sesuai sasaran. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sasaran penduduk miskin diperkirakan 16,6 persen atau sekitar 37 juta jiwa. Besaran penduduk miskin kalau dilihat dari persentase mungkin moderat dengan hanya 16,6 persen tetapi dari sisi jumlah absolut, penduduk miskin yang harus ditangani sebesar dua kali lipat penduduk Malaysia. Besaran ini tentu memerlukan manajemen yang kuat.


Para ekonom berbeda pendapat tentang bagaimana mengentasakan kemiskinan. Para penganut ekonomi liberal mengandalkan kebijakan makro ekonomi, pengendalian besaran moneter, suku bunga dan harga di satu sisi, serta kebijakan investasi yang dapat mengkreasikan penyerapan tenaga kerja akan memberikan dampak pengurangan kemiskinan. Dengan dapat bekerja orang miskin memiliki sumber pendapatan dari upah. Selanjutnya kestabilan moneter akan menyebabkan inflasi yang rendah sehingga dari upah tersebut orang miskin dapat survive. Di fihak lain, para penganut kebijakan ekonomi intervensi, menyatakan bahwa kebijakan makro saja tidak cukup. Intervensi negara diperlukan, hal ini bahkan dilakukan oleh negara penganut ekonomi pasar seperti Amerika Serikat dan Eropa dengan program negara kesejahteraannya (welfare state program).
Liberalisasi ekonomi kita dewasa ini sangat naïve, dengan program welfare state atau manajemen kemiskinan yang sangat lemah. Misalnya, kita semua tidak dapat memastikan bahwa orang miskin mendapat santunan negara pada waktu dan tempat yang jelas. Jika program kemiskinan ditunda 3 bulan, satu tahun, bahkan dibatalkan atau dialihkan ke bentuk lain, maka penanganan kemiskian sebenarnya nihil. Program beras miskin misalnya yang mewajibkan rakyat membeli dengan harga seribu rupiah, bagaimanapun merupakan program kemiskinan yang bersandar pasar. Siapa yang menjamin orang miskin memilki uang 20 ribu untuk membeli beras yang tentu saja tidak dapat dilayani membeli 1 atau 2 kilo?
Pada prinsipnya kita semua tidak bisa menjamin orang miskin bisa survive atau menjadi terbantu secara sistematik dengan mengandalkan bantuan negara. Bantuan kemiskinan hanya seperti kegiatan random atau durian runtuh yang tidak bisa diharapkan datangnya, makna negara dalam hal ini tidak bisa dirasakan oleh rakyat. Pada hal kalau dilihat dari APBN negara sudah mengalokasikan berbagai program untuk orang miskin, manajemen benar-benar diperlukan agar bantuan kemiskinan tersebut menjadi lebih efektif, terukur, terjadwal, dan tepat sasaran.
Mengenai sasaran itu sendiri juga perlu didefiniskan dengan undang-undang sebab jika bantuan yang reguler salah sasaran bisa menyebabkan dis insentif terhadap motivasi kerja. Bantuan tak bersyarat mestinya hanya untuk lansia dan cacat, sedang untuk keluarga muda miskin lebih baik diberi pekerjaan publik. Upah dari pekerjaan publik juga tidak boleh lebih besar dari upah di pasar, supaya orang yang datang ke pekerjaan publik hanya bersifat sementara dan tetap mencari peluang di pasar.

Sinergi Program Kemiskinan
Pengentasan kemiskinan tidak beridiri sendiri misalnya yang berada di wilayah departemen sosial. Dalam mata rencana anggaran kemiskinan 2008 dialokasikan 12,6 triliun, dengan rincian untuk pos-pos penting sebagaimana diperlihatkan olehn tabel 1.
Anggaran kemiskinan langsung terlihat sangat rendah, dibanding anggaran kemiskinan tak langsung yang meliputi. Manajemen kemiskinan kita terlihat tidak atau bukan merupakan pengejawantahan negara kesejahteraan yang menargetkan secara rutine santunan untuk sekian juta orang miskin, tetapi melalui pendekatan tak langsung yang menitik beratkan pembangunan tempat bekerja.
Tabel 1. Perbandingan Anggaran Kemiskinan Langusng dan Tidak Langsung
RAPBN 2008.

A. Anggaran Kemiskinan Langsung:
Melalui departemen Agama 6 T
melalui Menteri dalam Negeri 4,3 T
melalui Departemen PU 1,4 T
melalui depertemen sosial 2,2 T
departemen lainnya 3,1 T
B. Anggaran Tak Langung Berdampak Pengentasan Kemiskinan:
melalui pekerjaan umum, perhubungan, investasi, ekspor, pertanian dan pedesaan, perumahan rakyat dll


60,6 T

Masyarakat harus berpartisipasi melalui pasar dengan memanfaatkan fasilitas publik, pemerintah berasumsi bahwa masyarakat miskin masih dapat bersaing untuk meningkatkan ekonominya dengan memanfaatkan fasilitas publik seperti bendungan, saluran irigasi, jalan raya, bangunan/instansi publik, perumahan, dan sebagainya. Di lapangan, fasilitas ini hanya bisa dimanfatkan oleh kelompok non miskin. Hanya jika kelompok non miskin berhasil menghasilkan pekerjaan turunan, maka akhirnya orang miskin juga kebagian.
Pendidikan Murah dan Kesehatan
Harga fasilitas publik yang murah sangat membantu keluarga miskin. Pemerintah sekarang sudah mengalokasikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang memungkinkan sekolah gratis. Beberapa daerah juga sudah mencoba melarang sekolah negeri memungut biaya tambahan dengan memberikan tambahan APBD. Keadaan ini dilematis dengan mutu sekolah, sekolah yang bagus memerlukan anggaran yang tinggi.
Pemerintah perlu menyediakan sekolah gratis untuk orang miskin berapapun yang diminta. Sekolah sekolah yang ditunjuk sebagai provider bisa sekolah negeri atau swasta yang dilarang memungut tambahan biaya. Institusi sekolah swasta yang kini hampir kolapse bisa menjadi survive dengan mendaftar menjadi provider sekolah orang miskin, tentu harus meningkatkan kualitasnya sampai standar tertentu. Masyarakat non miskin yang diperkirakan sekitar 10 persen di pedesaan, atau 20 - 30 persen di perkotaan diwadahi dengan sistem membayar ke sekolah berkualitas. Sekolah ini bisa juga dari sekolah swasta dan sekolah negeri.
Program kartu sehat untuk keluarga miskin juga sangat menolong. Walaupun sering mundur (lacking fund) rumah sakit provider sekarang dengan senang hati menerima pasien miskin. Dalam hal kesehatan yang memerlukan biaya besar, 80 persen rakyat dengan berbagai profesi setingkat guru, dosen, pamong praja, karyawan dan pekerja industri, petani dan sejenisnya, tetap menghadapi masalah berat ketika tiba-tiba bugdet keluarga terserap untuk kesehatan. Program kesehatan untuk semua sangat diperlukan.
Arisan kesehatan yang dikelola negara sangat diperlukan. Arisan/pajak merupakan dana mengalir bersama APBN dengan prinsip pays as you go, orang yang sehat memberi iur kepada yang sakit. Arisan berbeda dengan asuransi yang dibebani profit dan dikelola BUMN. Arisan itu harus sangat murah, dan lapis terbawah tetap gratis. Segala upaya harus dilakukan untuk membantu orang miskin, hal tersebut akan berdampak sangat luas kepada kelembutan moral bangsa, memberi sense kepemimpinan yang luas. Memberi - dalam psikologi - sangat menyehatkan dan menguntungkan kepribadian si pemberi, dengan demikian sebagai bangsa kita akan lebih bermakna.

Read More......

Ada Apa Dengan Mahasiswa dan Ada Apa dengan SBY?

Prof.Bambang Setiaji
Apa yang sebenarnya terjadi dengan pemerintahan presiden kita yang lama tetapi baru? Mengapa mahasiswa bergolak? Dan, terdapat tanda-tanda bahwa mahasiswa akan mengulangi gerakan typikalnya di tahun 1966 menggulingkan orde lama, 1974 menggoyang orde baru melalui gerakan mahasiswa 15 Januari, dan tahun 1998 ketika mahasiswa menggulingkan pemerintahan orde baru.
Langkah yang lamban untuk tidak mengakomodasi mahasiswa akan merugikan citra dan mendelegitimasi pemerintah yang sangat mengganggu kinerja pemerintah lima tahun ke depan. Mahasiswa adalah gerakan yang tidak terafiliasi politik dan secara objektif merupakan yang paling jernih dari kontaminasi kepentingan. Tuduhan bahwa mahasiswa terkooptasi politik justru akan membuat gap pemerintah dan mahasiswa lebih dalam.

Pemerintah sudah membuat banyak tim, komite, dan satgas, ada baiknya beberapa pimpinan mahasiswa terutama dari universitas besar seperti UI, ITB, UGM, dan yang mewakili universitas swasta misalnya dari Muhammadiyah yang memiliki jumlah perguruan tinggi lebih banyak dari pemerintah (wakil dari Muhammadiyah bisa Universitas Muhammadiyah di Surakarta atau di Malang), serta beberapa ketua BEM Universitas di Luar Jawa. Jembatan seperti ini penting untuk mendengar dengan jernih generasi muda, kemampuan mendengar itulah salah satu kelemahan periode kedua SBY yang pada awal periode dimabuk kemenangan, membuat atau menempatkan partai koalisi bertekuk lutut, dilambangkan dengan audisi menteri dan penunjukkan wapres yang begitu tegang dan dramatis.

***
Keadaan memang berbeda dari gerakan mahasiswa yang lalu. Pada 1966 dan 1998 mahasiswa menghadapi presiden yang tidak dipilih secara demokratis. Presiden Soeharto memang menyelenggarakan PEMILU setiap lima tahun, akan tetapi PEMILU tersebut dapat sepenuhnya dikendalikan oleh Soeharto melalui tentara yang diterjunkan sampai di desa-desa dengan missi memenangkan partai pemerintah. Di samping itu, Soeharto menempatkan tentara sebagai kompensasi tidak dilaksankannya hak pilihnya di Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal mana mengamankan kedudukan Soeharto sampai 32 tahun. Presiden Soekarno memiliki kharisma sebagai proklamator, MPR mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Sebaliknya, SBY hanya terlihat memiliki kemampuan keuangan dalam advertensi media elektronik dan event-event partai yang memiliki kekuatan luar biasa untuk menembus seluruh wilayah Indonesia, kekuatan SBY bukan berasal dari kekuatan totaliter. Bisa dikatakan SBY memperoleh kemenangan dengan market race, kekuatan pencitraan dipadukan dengan kekuatan keuangan dalam membiayai advertensi. Mengapa mahasiswa, kelompok yang relatif pro demokrasi masih juga menempatkan SBY seperti dua presiden non demokratis yang diperbandingkan?
Kegusaran mahasiswa terhadap SBY memang tidak disebabkan oleh type totalitariannya dalam wilayah politik dan kebebasan, tetapi lebih dalam masalah hukum, khususnya dalam masalah korupsi, dan masalah keberpihakan kepada kebijakan publik yang bernuansa kerakyatan. Tuntutan mahasiswa atas mundurnya Sri Mulyani dan Wapres Boediono melambangkan aspirasi mahasiswa tersebut. Duet Boediono Sri Mulayani pada awal kepimpinan kabinet baru sudah mengkampanyekan sebagai penganut intervensionis, namun seperti di lihat konsistensi kampanye tersebut tidak berlanjut begitu terpilih. Kampanye yang hanya sehangat olesan bawang tidak cukup untuk mengubah persepsi banyak kalangan bahwa duet tersebut sebagai pembawa kebijakan ekonomi yang liberal dan mempertahankan eksklusifitas sirkuit atas.
Mahasiswa, rakyat, dan ekonom yang lebih egaliter, dapat merasakan dan bahkan mengamati secara nyata, bahwa kita sedang membiarkan rakyat menyelesaikan sendiri permasalahannya dengan berlindung dibalik idiologi ekonomi, tidak boleh mengintervensi terlalu jauh, dengan pengeculian variabel makro khususnya di bidang keuangan dan perbankan. Sementara rakyat dibiarkan bergulat di sektor riil yang terlalu kompetitif dan sangat mematikan modal investasinya yang kecil dan satu-satunya serta bergulat dengan lingkaran produktifitas dan upah yang rendah. Upah buruh mungkin secara riel merosot digerogoti inflasi dengan upah minimum mayoritas di daerah kurang dari satu juta, dan upah di luar sektor formal mungkin setengahnya.
Sementara itu, dengan kekurang-mampuan mendengar, pemerintah memamerkan lambang-lambang kemewahan seperti berbicara atau merencanakan kenaikan gaji, tunjangan, fasilitas mobil mewah, dan membeli pesawat kepresidenan. BLT yang mengantarkan SBY menjadi presiden disiarkan media elektronik dengan gegap gempita menghilang begitu saja, menyebabkan rakyat seperti dikhianati dan membiarkan SBY ditentang mahasiswa. BLT semestinya dilestarikan dengan menganggarkan 2,5 persen sebagai sedekah pemerintah melalui departemen sosial. Jumlah ini akan berkisar 30 triliun yang bisa membantu rakyat secara langsung. Bantuan tersbut selanjutnya akan memperkuat permintraan uumum menghidupkan perekonomian sirkuit bawah seperti industri kecil, industri rumah tangga, industri pedesaan, sektor informal sampai di pelosok tanah air. Program riel seperti ini akan memperkokoh SBY, bahkan jika DPR menentang, dan mahasiswa juga akan secara jernih menerimanya.
***
Memang data ekonomi secara makro mungkin membaik seperti inflasi, terhindar dari krisis, dan suku bunga yang mulai menurun serta yang paling utama pertumbuhan ekonomi. Pemerintah tidak dapat mengklaim begitu saja bahwa pertumbuhan ekonomi yang masih terselamatkan di antara tiga negara Asia bersama China dan India sebagai prestasinya. Kebijakan pemerintah yang sangat pro globalisasi, perdagangan terbuka dengan China dan ekspor oriented, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi bersifat otokorelasi. Artinya bahwa pertumbuhan yang terjadi disebabkan oleh industri kecil yang berwatak domestik dan usaha murni rakyat pada saat kemampuan dan variabel yang dipertimbangkan dalam kebiajak pemerintah berbicara lain.

Pemerintah kota dan pemerintah daerah dengan disertai kebebasan media elektronik hampir setiap hari menyiarkan penggusuran dan perampasan tanah yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun ditempati rakyat. Kemenangan hukum formal berdasar selembar surat, keindahan kota dan obsesi menjadi setara dan sebersih dan semaju dengan kota kota dunia negara Barat sepertinya ingin dilakukan dalam semalam. Korban-korban berjatuhan dan dengan dalih otonomi, hanya menunjukkan pemerintah pusat tidak bisa mengendalikan dan mengkoordinasikan, pada hal citra dan delegitimasinya ditimpakan semuanya di pundak SBY. Pemerintah pusat masih bisa memainkan kartu penting misalnya daerah yang menggunakan pendekatan tidak manusiawi dihukum melalui dana yang turun daari pemerintah pusat yang ternyata masih merupakan anggaran mayoritas di daerah.

Read More......

Antara pasar & program kesejahteraan


Bambang Setiaji Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

Debat calon walikota Solo yang bagi kalangan awam kelihatan kurang menarik, sebenarnya mengandung pertarungan pemikiran penting. Pasangan incumbent, Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo (Jo-Dy), mempertahankan program utamanya memajukan pasar dan sang penantang, Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi(Wi-Di), mengajukan program kesejahteraan atau bantuan langsung.

Dengan memajukan pasar, sebagaimana dipertahankan incumbent, Solo yang terkenal sebagai kota perdagangan dan industri akan membuka kesempatan bagi rakyat untuk memperoleh perbaikan ekonomi. Hal itu diperoleh melalui ramainya perdagangan, para pengusaha akan memperoleh keuntungan yang dapat direinvestasi yang selanjutnya memperbesar kapasitas produksi daerah dan rakyat akan memperoleh pekerjaan sebagai buruh industri dan perdagangan. Minimal rakyat akan memperoleh UMK (upah minimum kota). Dengan demikian akan membantu rakyat untuk memenuhi kebutuhan dan akhirnya keluar dari kemiskinan.

Incumbent yang kebetulan berlatar belakang pengusaha yang terbiasa mandiri dari bantuan pemerintah, sadar atau tidak sadar, terwarnai oleh latar belakang tersebut dalam pilihan programnya. Antitesis dari logika pasar adalah negara kesejahteraan (welfare state). Fungsi dan peran negara bukan hanya pada menjaga kesehatan pasar, misalnya dari praktek monopoli dan oligopoli, tetapi bertanggung jawab langsung memenuhi kebutuhan (dasar) rakyat.

Di dalam negara kesejahteraan—yang dipelopori Eropa—negara terlibat jauh dalam berbagai bantuan langsung. Amerika yang secara ideologis liberal dan kapitalistik, tahun ini memilih Obama yang membawa program welfare state—salah satunya tentang reformasi santunan kesehatan.

Program welfare state—baik di Eropa, Australia, Amerika dan negara maju lainnya—umumnya berbentuk empat pilar. Pertama, OAI (old age insurance = program pensiun) bagi para pekerja yang memenuhi pensiunnya dengan sistem asuransi dan melalui skema social security bagi masyarkat marginal yang pensiunnya bergantung dari keuangan daerah. Kedua, HI (health insurance = asuransi program kesehatan ) bagi orang yang bekerja dengan baik atau melalui medicaid bagi kelompok marginal yang juga bersumber dari keuangan daerah. Ketiga, UEI (unemployment insurance = asuransi PHK, bagi orang bekerja) dan program padanannya bagi penganggur dari dana pemerintah. Keempat, bagi para penyandang cacat berupa disability insurance (jaminan orang cacat).



Pasar saja tak cukup

Program bantuan langsung kepada rakyat di negara maju sebenarnya berideologi ekonomi pasar. Mereka menyadari terdapat orang yang tersisih dan tidak dapat berkompetisi dalam pasar. UU tentang social security ditulis pertengahan tahun 1930-an. Itulah sebabnya pasal-pasal ekonomi dan sosial banyak dirumuskan dalam UUD 1945.

Bung Hatta yang tentu saja banyak membaca literatur Eropa juga merasakan bahwa pasar tidak cukup menyelesaikan masalah sosial. Program pensiun yang diangkat oleh kubu penantang (Wi-Di) sebenarnya bukan hal baru di Eropa dan UUD 1945. Hanya saja para pemimpin ragu dengan selalu merasa bahwa uang atau anggaran masih kurang. Landasan hukum yang lebih operasional adalah disahkannya UU Jaminan Kesejahteraan Sosial pada tahun 2009 yang lalu.

Umumnya para pemimpin membandingkan anggaran negara maju yang besar dan anggaran kita yang kecil. Anggaran masih kurang, tidak memungkinkan memulai sekarang. Solo sebagai kota yang pertama kali mewacanakan social security bisa menjadi contoh. Bukan besarnya anggaran yang penting tetapi sistem yang baik. Dengan kata lain ada anggaran besar memberi besar ada anggaran kecil memberi kecil. Yang penting bangunan sistem solidaritas dan kohesifitas sosial yang tinggi .

Social security memiliki landasan nilai luhur ketika bangsa kita masih tradisional. Pada waktu itu kita kenal sambatan, gotong royong dan sebagainya. Ketika modernisasi menggantikan relasi sambatan dengan relasi berbasis uang, dan negara tidak siap menggantikannya dengan skema modern dengan alasan APBD yang kurang, maka rakyat kehilangan sesuatu.

Relasi dan sistem yang lama sudah ditinggalkan, sistem modern yang baru tidak kunjung datang. Kesalahan para pemimpin yang menolak program kesejahteraan modern yang berbasis negara, karena para birokrat berkepentingan dengan penggunaan anggaran untuk program lain. Bantuan langsung kepada rakyat kurang disukai oleh birokrasi. Mengapa? Karena dengan bantuan tidak langsung berupa proyek ini dan itu dana pemerintah akan mengucur ke birokrasinya sendiri.

Apakah antara ekonomi pasar dan program kesejahteraan langsung harus bertentangan? Jawabannya tidak demikian. Di banyak negara sekarang menyatakan sebagai ekonomi campuran. Negara pasar atau negara liberal kapitalistik juga menyelenggarakan bantuan langsung program kesejahteraan. Jika Indonesia tidak melaksanakan maka Indonesia akan terjatuh menjadi negara paling liberal dan kapitalistik di dunia.


Read More......

Seberapa Besar Seharusnya Perolehan Pajak kita ?


Prof. Bambang Setiaji (universitas Muhammadiyah Surakarta)

Kasus Gayus menimbulkan tanda tanya, apakah perilakunya anomali dari kelompoknya atau sebenarnya fenomena umum, gunung es yang muncul dipermukaan. Kasus seperti ini di masa lalu, taruhlah sebelum sistem remunerasi merupakan kasus umum. Kwik Kian Gie dalam buku putihnya menyatakan, kita tidak perlu hutang atau bisa melunasi hutang apabila dapat menertibkan pemasukan pajak yang diduga hanya masuk setengahnya. Ditambah dengan penertiban hutan dan laut, maka hutang pemerintah akan dapat dilunasi atau diturunkan dan kesejahteraan rakyat akan dapat ditingkatkan.


Perlu dicatat bahwa setelah remunerasi, pemasukan pajak memang meningkat, namun dalam persentase terhadap produk domestik bruto (PDB) persentase penerimaan negara dari pajak terlihat menurun. Peningkatan-peningkatan tersebut memberikan sinyal peningkatan kinerja direktorat jenderal pajak, tetapi mengapa menurun persentasenya terhdap PDB, menyisakan tanda tanya. Apakah jumlah pajak yang semestinya lebih besar dari yang dapat diraih. Artinya, banyak kegiatan ekonomi yang meningkat tetapi luput dari kewajiban pembayaran pajak. Marilah kita perbandingkan pemasukan pajak dibanding dengan total produksi domestik bruto di berbagai negara-negara sedang berkembang dan negara maju.
Dari tabel yang disajikan, penerimaan pemerintah baik pajak dan bukan pajak dari tahun 2003 sampai 2009 terlihat pada baris kedua tabel tersebut. Pada tahun 2003 perbandingan penerimaan negara terhadap PDB mencapai 17 persen menurun kembali pada tahun 2009 menjadi 15,5 persen, setelah meningkat pada thaun 2008. Perbandingan tahun 2008 dan tahun 2009 khusus penerimaan pajak dalam nominal sebenarnya meningkat dari 609,2 triliun rupiah menjadi 661,8 triliun rupiah, tetapi persentasenya terhadap PDB menurun dari 13,6 persen menjadi 12,1 persen. Persentase total penerimaan negara terhadap PDB pada 2009 juga menurun dari 20 persen manjadi 15,5 persen dibanding tahun 2008.
Tabel 1. Persentase Pendapatan Negara Terhadap Produk Domestik Bruto di
Berbagai Negara
Negara
Persentase Penerimaan Negara terhadap PDB

2003
2008
2009
Indonesia
17
20 (13,6)
15,5 (12,1)
Philipina
15
16 *
t.a
Pakistan
14
14 *
t.a
Mesir
25
27 *
t.a
Korea Selatan
22
25 *
t.a
AS
17
20 *
t.a
Inggris
36
38 *
t.a
Rerata Dunia
24
27 *
t.a

*) Data tahun 2007 dari World Development Indicator Bank Dunia (diakses, 5 April 2010)
Dalam kurung adalah persentase perolehan pajak terhadap PDB

Apabila dibandingkan dengan negara sedang berkembang seperti Philipina, kemampuan pemerintah dalam memperoleh penerimaan terlihat sebanding, tetapi jauh lebih baik dibanding Pakistan yang stabil pada angka 14 persen, dan lebih-lebih Bangladesh yang hanya mampu memungut 10 persen. Dibanding dengan negara Afrika Utara khususnya Mesir dan Korea Selatan terlihat jauh di belakang. Mesir mampu mengkoleksi penerimaan negara dari 25 persen menjadi 27 persen dan Korea Selatan meningkat dari 22 menjadi 25 persen.
Negara negara Eropa yang terkenal sebagai welfare state di mana negara memungut pajak yang tinggi dan memberikan berbagai jaminan kepada penduduknya yang tinggi pula, diwakili oleh Inggris dengan penerimaan negara meningkat dari 36 persen ke 38 persen dari nilai PDB. Amerika Serikan terlihat sebagai negara yang lebih liberal dengan penerimaan negara hanya 17 persen dan meningkat menjadi 20 persen. Pemerintahan Obama diduga akan meningkatkan kadar program kesejahteraan dan tentu saja akan meningkatkan persentase penerimaan negara dibanding nilai produksi seluruh penduduknya.
Memang menjadi pertanyaan kenapa penrimaan pajak kita dan penerimaan total kita menurun dalam persentase terhadap PDB? Dari tabel di atas semua negara memperlihatkan kenaikan yang konsisten. Penurunan ini sekaligus menunjukkan bahwa remunerasi tidaklah memberi efek yang signifikan. Kemampuan memungut penerimaan negara rata-rata dunia naik dari 24 persen ke 27 persen. Ini artinya pemerintah di seluruh dunia mengambil peran lebih aktif dalam aktifitas melakukan aktifitas ekonomi di luar pasar. Dengan kata lain, jika benar-benar mengucur kepada masyarakat, pemerintah di banyak negara lebih terlibat dalam program kesejahteraan warga negaranya. Amerika serikat menjadi contoh ketika pada tahun ini mensahkan reformasi undang-undang jaminan kesehatannya yang baru.
Black Economy
Kemampuan negara-negara sedang berkembang untuk mengkoleksi pajak sebagai inti dari penerimaan negara menghadapi kendala berupa besarnya kegiatan ekonomi informal dan nonformal yang transaksinya tidak tercatat dengan baik. Kegiatan kegitan ini termasuk black economy, walaupun yang diproduksi dan diperdagangkan bukan merupakan barang terlarang yang membahayakan masyarakat, tetapi aktifitasnya tidak memberi dukungan terhadap penerimaan negara.
Besarnya aktifitas informal dan nonformal lambat laun menurun seiring dengan kemajuan pendidikan, modernisasi bentuk usaha, dan perubahan pola konsumsi masyarakat yang juga cenderung beralih dari produk-produk tradisional ke produk-produk yang dikelola secara modern. Menurunnya aktifitas blck economy semestinya meningkatkan kesempatan memungut pajak dan penerimaan negara pada umumnya.
Apakah Pajak Kita Sudah Sesuai ?
Seperti dunia perbankan yang memberi target kepada para pegawai, direktorat pajak juga mengkaitkan target dan remunerasi. Akibatnya ketika target tercapai, maka usaha memungut pajak diturunkan atau dihentikan. Sistem target juga seringkali menyebabkan kemajuan yang ditunda, misalnya jika ditargetkan tahun ini sejumlah X rupiah, pada waktu tercapai cenderung dihentikan supaya ditahun depan masih ada potensi untuk meningkatkan. Apabila target tahun ini tercapai, umumnya tahun depan ditentukan target baru yang lebih tinggi. Target dalam rupiah yang tercapai mungkin sebenarnya belum sesuai dengan aktifitas ekonomi riel yang berkembang yang bagaimanapun secara hukum harus dipungut pajak.
Mengkaitkan penurunan persentase pajak terhadap PDB dikaitkan dengan tercapainya target pemasukan adalah pikiran positif. Sedangkan jika mengkaitkannya dengan aktifitas Gayus atau sekelompok perilaku yang sama, merupakan pikiran negatif atau pikiran waspada. Jangan-jangan sebagian dari aktifitas ekonomi juga tidak dipajaki sebagaimana mestinya dengan jalan membagi sisanya untuk wajib pajak dan pemungut pajak. Kasus Gayus memang harus dituntaskan dan perbaikan serta reformasi di instansi terkait seperti di Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman menuntut hal serupa.





Read More......
 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent