Prof. Bambang Setiaji

Rektor Univ Muhammadiyah Surakarta

More About Me...

Lahir di Pacitan, 24 Desember 1956 dari pasangan ibu bernama Tentrem dan ayah bernama Harsono (alm) seorang guru dan Kepala Sekolah SD Tulakan Pacitan. Kakek juga seorang guru dan kepala sekolah dengan gaya pendidikan warisan pemerintahan kolonial yang khas.

Assalamu' alaikum..

Selamat datang di website ini. Blog ini berisi gagsan kami yg dipublikasi di koran, buku, dan bahan kuliah. Web ini dibuat oleh keponakan saya Bukhori, saya ucapkan terima kasih atas bantuannya. Selamat menjelajah!

Ironi dalam Pendapatan per Kapita USD3.000

Dengan memasuki pendapatan per kapita USD3.000, Indonesia memasuki kelompok negara berpenghasilan menengah. Namun, di saat secara nasional kita mencapai pendapatan per kapita USD3.000. Di sisi lain angka kemiskinan tidak turun secara signifikan.
Angka kemiskinan kita pada 1996 sebesar 34 juta orang,lalu tetap sama pada tahun 2008 dan menjadi 31 juta pada 2010. Menjadi pertanyaan besar, siapa yang menikmati pertambahan pendapatan sejak 1996 atau sejak era reformasi? Dan lebih penting lagi, mengapa hal ini terjadi dan bagaimana memperbaikinya?


Di negara liberal inti, kapitalisme membawa pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Ketimpangan juga terjadi di sana, tetapi rakyat dapat menerima ketimpangan tersebut.

Boumol, penulis buku Good Capitalism and Bad Capitalism, menggambarkan kapitalisme seperti gelombang pasang yang bergulung sehingga yang terbawah pun ikut terangkat ke atas. Negara liberal inti menjamin masyarakat terbawah dengan mekanisme pasar yang mendorong munculnya banyak bisnis dan lapangan kerja serta upah minimum yang sangat tinggi. Pada bisnis-bisnis kecil, pekerja dan pengusaha sering kali memperoleh keuntungan dan upah yang seimbang.

Di samping mekanisme normal tersebut, negara liberal inti menjalankan program sosial atau program welfare yang meliputi sistem pensiun yang meng-cover sangat luas, sistem asuransi kesehatan nirlaba, dan berbagai safety net untuk kelompok miskin dan korban bencana.

Program sosial kita memang tidak sebaik di negara inti. Pertanyaannya, mengapa gelombang pertumbuhan selama 15 tahun liberalisasi tidak dapat mengangkat kelompok terbawah?

Mengapa Profil Kemiskinan Tak Berubah?

Mengambil inspirasi dari Asia, khususnya dari China yang samasama berpenduduk besar dan memiliki wilayah yang luas, kemajuan Negeri Tirai Bambu yang monolitik itu dirancang dengan kepemimpinan yang kuat atau dapat dikatakan kemajuan dari atas. Kemajuan Indonesia dicapai dengan ideologi politik dan ekonomi yang terlalu liberal.

Pertama, kepemimpinan yang lemah dengan absennya partai mayoritas, kepemimpinan politik menjadi dinamis internal di mana lebih dari setengah energinya dihabiskan untuk mengurus kepentingan penyehatan koalisi dan sibuk menghadapi gangguan parlemen yang tentu saja tiada habisnya.

Rakyat dibiarkan danmenjadidewasadalammemecahkan masalahnya. Indonesia adalah negara penuh berkah. Di samping sumber daya alam yang melimpah, dikaruniai masyarakat yang baik, sabar, dan sebenarnya ulet.

Ideologi yang liberal baik di bidang politik maupun ekonomi menyebabkan kemajuan penuh kemandirian atau tanpa arahan negara. Kebaikan dari kemajuan seperti itu adalah kemandiriannya yang tinggi, mencari network dan celah bisnis dengan mengandalkan kemampuannya sendiri.

Kelemahannya adalah banyak korban karena sifat dari ekonomi yang kita jalani selama ini adalah kebebasan siapa saja untuk masuk suatu pasar. Kelompok marginal yang terdiri atas pemain yang kurang dinamis akan terdepak dari pasar yang terus menerus terbuka bagi pemain baru yang sering kali lebih kokoh.

Kejenuhan pasar menyebabkan persaingan yang superketat dan menyebabkan gelombang tekanan keluar dari pasar. Lihatlah berapa banyak investasi pompa BBM dari kota Solo dan Yogyakarta sepanjang 60 km boleh dikatakan terdapat pompa BBM pada setiap 500 meter.

Investasi apotek juga ditemukan di setiap beberapa ratus meter di kota menengah dan bahkan di ganggang kecil. Akibatnya banyak investasi yang menjadi fuso. Secara nasional, cerita di atas dapat dilihat sebagai menurunnya pertumbuhan.

Itulah salah satu sebabnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca- Reformasi menjadi moderat, di sekira angka 4–5 persen per tahun. Pada masa Orde Baru, seperti China pada saat ini, kapitalismenya diarahkan oleh kepemimpinan negara yang kuat dan juga pembatasan pemain dan pengarahan dengan semi perencanaan.

Akibatnya, investasi yang ditanamkan para pelaku bisnis memperoleh semacam jaminan pasar. Modal yang terbatas sebagai ciri negara sedang berkembang menjadi efektif ditanamkan di sektor-sektor dengan pasar tertentu, tetapi dengan pemain yang terbatas.

Bentuk pasar yang oligopolistik memang tidak sampai merugikan konsumen, tapi di sisi lain menyebabkan satu sektor bisnis dapat memperoleh laba supernormal, mengakumulasi kapital, dan menanamkannya kembali dalam bentuk ekspansi usaha, bahkan mendukung penerapan teknologi atau pengembangan produk baru.

Kepemimpinan Kuat

Berbeda dari China yang memiliki kepemimpinan kuat dan relatif bersih, oligopoli dan lisensi di Indonesia selama orde Baru menyebabkan kolusi di mana lisensi diberikan dengan suap dan korupsi. Kalau begitu, kata kunci untuk memperoleh pertumbuhan yang tinggi, khususnya pada negara sedang berkembang yang memiliki akumulasi kapital terbatas (kapitalisme awal/muda), pertama, perlu diciptakan kepemimpinan yang kuat.

Kepemimpinan yang kuat dapat dicapai dengan pengaturan sistem politik yang memungkinkan adanya mayoritas. Kedua, perlu dihidupkan kembali semiperencanaan yang mengarahkan investasi dengan perhitungan pasar yang rasional, pasar-pasar yang kompetitif terkendali atau oligopoli dengan pemain yang cukup banyak, hukum yang tegas dan dapat menjamin menghilangnya korupsi.

China diuntungkan dengan titik berangkat komunisme yang memiliki capital endowment, misalnya tanah yang lebih merata. Sementara kita selama ini tidak mau mendengar soal hal tersebut. Monopoli dan oligopoli natural tanpa arahan negara selama 15 tahun terakhir memperoleh kekuatannya secara alami dan cenderung menjadi lebih liar.

Absennya semiperencanaan menyebabkan dirambahnya semua sektor oleh para pemain besar. Sebagai contoh, masuknya industri retail modern sampai di wilayah kecamatan dan perdesaan seperti akar yang merambat jauh yang menyerap potensi ekonomi daerah menuju pusat.

Inilah sebagai salah contoh yang menyebabkan ketimpangan yang lebih tinggi di Indonesia dewasa ini. Absennya inovasi karena kalah bersaing dengan negara maju dalam bidang riset menyebabkan lapangan bisnis dan lapangan pekerjaan lama diperebutkan dengan masuknya pemain baru dengan modal, pengetahuan, dan teknologi yang lebih baik.Gambaran sebagaimana disebut di atas sudah terjadi karena pada saat Reformasi menumbangkan Orde Baru harus diakui bahwa power yang dimiliki saat itu tidak terduga dan boleh dikatakan tanpa perencanaan.

Perubahan kita boleh dikatakan sangat liar dan tidak dapat mengambil manfaat yang baik dari sejarah perkembangan kita sendiri. Orde baru, bagaimanapun, berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada masa yang sangat lama.

Orde baru juga dapat mengatasi kemiskinan dari titik yang lebih parah saat kelaparan dan hanger odeem atau penyakit kaki gajah. Reformasi kita agak salah arah karena dilaksanakan dalam situasi euforis atau kurang tenang. Sekarang adalah saatnya memikirkan kembali dengan mengambil pelajaran dari sejarah kita sendiri dan mengomparasikan dengan negara lain.(*)

Prof Bambang Setiaji
Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta(Koran SI/Koran SI/ade)

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent